TIMES LOMBOK, JAKARTA – Sebagai dasar negara, ideologi negara dan khazanah intelektual bangsa, Pancasila telah lama diabaikan. Itulah mengapa persoalan-persoalan fundamental dari dasar negara kita ini belum banyak dirumuskan. Salah satu persoalan fundamental itu adalah penempatan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, yang tidak terhenti pada dimensi normatif tetapi juga prosedural-konstitusional.
Artinya, ketika Pancasila telah ditetapkan sebagai dasar negara dengan konsekuensi menjadi sumber segala sumber hukum, maka langkah-langkah yuridis untuk melaksanakan hal itu, seharusnya telah lama kita lakukan. Salah satu langkah yuridis itu ialah penempatan Pancasila sebagai tolok ukur bagi pengujian Undang-Undang (judicial review) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD). Hanya dengan melakukan hal ini, maka status Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum bisa terwujud.
Langkah inilah yang dilakukan oleh Dr. Ahmad Basarah, SH, MH. Sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI sejak periode 2014-2019, hingga 2019-2024, Basarah sangat concern dengan hal ini. Itulah mengapa pada tahun 2016, ia merumuskan hal ini melalui karya akademik dalam bentuk disertasi program doktor ilmu hukum di Universitas Diponegoro. Disertasi tersebut berjudul, Eksistensi Pancasila sebagai Tolok Ukur dalam Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945 di Mahkamah Konstitusi: Kajian Perspektif Filsafat Hukum dan Ketatanegaraan.
Melalui disertasi ini, Basarah telah mengembangkan ijtihad dalam wacana hukum Indonesia. Sebagaimana terminologinya dalam hukum Islam, ijtihad adalah inisiatif rasionalitas manusia untuk menggagas kebaruan hukum. Dalam hukum Islam, ijtihad dilakukan untuk menerapkan nash (al-Qur’an dan hadist) ke dalam konteks kehidupan masyarakat baru, yang secara tekstual tidak diatur oleh nash. Akan tetapi, hukum Islam itu sendiri menyediakan metodologi, baik dalam bentuk qiyas maupun ijma’, sehingga nash bisa dikonstruksikan untuk melahirkan hukum baru.
Dalam konteks hukum modern, Basarah telah melakukan ijtihad dengan menempatkan Pancasila sebagai “teks suci” yang dijadikan pijakan bagi pengujian terhadap Undang-Undang (UU). Disebut ijtihad, karena pemikiran Basarah ini merupakan inovasi dan kebaruan mengingat hingga kini pengujian UU baru terhenti pada UUD, bukan kepada Pancasila.
Melampaui Konstitusi
Dalam menyusun argumentasinya, Basarah berangkat dari teori Pancasila sebagai norma dasar negara (Grundnorm), berdasarkan gagasan Hans Kelsen. Pijakan teoretik ini memiliki dampak serius bagi kajian kepancasilaan secara umum. Mengapa? Karena penempatan Pancasila sebagai Grundorm, berbeda dengan pemahaman umum status yuridis Pancasila yang selama ini berkembang.
Misalnya, status yuridis Pancasila yang dikembangkan oleh filsuf hukum Pancasila kawakan, Prof. Notonagoro yang menempatkan Pancasila sebagai kaidah fundamental negara (Staatfundamentalnorm) berdasarkan gagasan Hans Nawiasky. Berdasarkan pijakan teoretik ini, maka Notonagoro, dan sebagian besar ahli hukum tata negara menyatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Ini dikarenakan pemahaman yang menyatakan bahwa Staatfunfamentalnorm itu sendiri ialah Pembukaan UUD 1945. (Notonagoro, 1957: 9)
Hal ini berbeda dengan Basarah yang berpijak dari teori Grundnorm. Menurutnya, sebagai Grundnorm, Pancasila tidak termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Mengapa? Karena Grundnorm bersifat meta-legal, melampaui konstitusi. Sebagai norma dasar yang melandasi konstitusi dan peraturan perundang-undangan, Pancasila tidak berada di dalam konstitusi. Artinya, ia tidak terletak di dalam konstitusi, dalam hal ini, Pembukaan UUD yang merupakan bagian dari konstitusi. Lalu apakah lima nilai yang termuat di alinea keempat Pembukaan UUD yang selama ini kita kenal dengan Pancasila? Lima nilai tersebut, menurut Basarah adalah “rumusan sila-sila” Pancasila, tetapi bukan eksistensi Pancasila sebagai norma dasar negara.
Pemahaman bahwa Pancasila tidak termuat dalam Pembukaan UUD oleh Basarah, didasarkan pada beberapa argumentasi. Pertama, berdasarkan konsep teoretik tentang norma dasar negara (Grundnorm) yang bersifat meta-yuridis, melampaui konstitusi. Berangkat dari Stufenbautheorie yang disusun Hans Kelsen, Basarah menempatkan Pancasila sebagai norma dasar yang “mengatasi” norma hukum di bawahnya. Sebagai norma dasar negara, Pancasila bukan bagian dari peraturan perundang-undangan (algemene venbindende voorschrifften), melainkan sumber dari segala sumber (source of the source) dari semua tatanan peraturan perundang-undangan (Basarah, 2017: 67-68).
Dalam sistem hukum Indonesia, penempatan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang merupakan penerapan dari status Pancasila sebagai norma dasar negara, menurut Basarah telah terwujud secara historis. Penempatan tersebut tertuang dalam; (1) TAP MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tahun 1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tata Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI, (2) TAP MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, (3) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan (4) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), sebagaimana diubah oleh UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua terhadap UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP.
Lebih lanjut, Basarah menjelaskan pemahaman Pancasila sebagai sumber segala sumber ini berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP. Pada satu sisi, UU ini tidak menempatkan Pancasila sebagai bagian dari hierarki norma hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1), dimana hierarki norma hukum meliputi; UUD NRI 1945, Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam hierarki norma hukum ini, tidak terdapat Pancasila. Pada saat bersamaan, UU PPP tersebut menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang PPP. Artinya, UU tersebut sudah tepat meletakkan Pancasila sesuai statusnya sebagai norma dasar negara, bukan sebagai norma hukum.
Kedua, berdasarkan fakta hukum bahwa Pembukaan UUD ditetapkan sebagai bagian dari UUD. Hal ini ditetapkan dalam ketentuan Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi, “Dengan ditetapkannya perubahan UUD ini, UUD NRI Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.” Dari aturan ini bisa dipahami bahwa jika Pancasila terdapat dalam Pembukaan UUD, sedangkan Pembukaan merupakan bagian dari konstitusi, maka Pancasila merupakan bagian dari konstitusi. Hal ini tentu bertentangan dengan status Pancasila sebagai norma dasar negara yang melampaui konstitusi.
Dalam kaitan ini proses amandemen terhadap UUD memang tidak merambah pada Pembukaan. Sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 yang membatasi perubahan terhadap UUD hanya terhadap pasal-pasalnya, yakni, “Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari anggota MPR.” Namun menurut Basarah, karena ketentuan tersebut terdapat dalam pasal, maka ketentuan tersebut bisa diubah berdasarkan mekanisme dalam Pasal 37 ayat (1) UUD itu sendiri. Artinya, jika 1/3 anggota MPR sepakat mengubah ketentuan perubahan UUD termasuk perubahan Pembukaan, hal tersebut bisa terjadi. Jika hal ini terjadi, maka Pancasila yang diasumsikan terdapat dalam Pembukaan pun berubah. (Basarah, 2017: 68-71)
Menurut Basarah, perubahan ini pernah terjadi dalam sejarah konstitusi kita. Yakni dalam Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950), dimana rumusan sila-sila Pancasila mengalami perubahan dari rumusan UUD 1945. Di Pembukaan Konstitusi RIS, sila-sila Pancasila berbunyi; Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan sosial. Dalam Pembukaan UUDS 1950 pun rumusan sila-sila tersebut sama dengan Konstitusi RIS. Dalam pemahaman Basarah, jika Pancasila termuat dalam Pembukaan UUD, maka ia pernah mengalami perubahan di dua konstitusi tersebut. Padahal dasar negara seharusnya tidak berubah.
Pertanyaannya, dimanakah letak eksistensial Pancasila sebagai norma dasar negara? Menurut Basarah, eksistensi Pancasila sebagai norma dasar negara terletak pada ranah abstrak yang dibentuk secara historis, dalam proses kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila. Proses historis ini terjadi pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) hingga sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 1945. Inilah yang membuat Basarah, di berbagai paparannya menegaskan bahwa pemahaman terhadap Pancasila haruslah sesuai dengan “maksud para pembentuk Pancasila”.
Konsep Pancasila yang bersifat historis ini berdampak pada metode penempatan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU yang bersifat interpretatif, melalui penafsiran konstitusi (judicial interpretation) berdasarkan interpretasi prinsipal (principle).
Penyambungan Historis
Dalam kaitan ini, terlihat Basarah mengalami kegelisahan terkait keterputusan antara rumusan final Pancasila dengan rumusan awal Pancasila. Hal ini nampak dalam penolakannya terhadap anggapan bahwa Pancasila lahir pada 18 Agustus 1945 melalui sidang PPKI. Menurutnya hal ini tidak tepat, karena tugas PPKI tidak mengesahkan Pancasila, melainkan mengesahkan UUD 1945, serta melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Itulah mengapa tanggal 18 Agustus ditetapkan sebagai Hari Konstitusi berdasarkan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2008 tentang Hari Konstitusi. Sedangkan Hari Lahir Pancasila adalah tanggal 1 Juni sebagaimana ditetapkan oleh Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Seperti diketahui, 1 Juni 1945 ialah hari pidato bersejarah Soekarno dalam mengusulkan Pancasila sebagai filsafat dasar negara.
Kegelisahan Basarah ini beralasan, sebab sejak Orde Baru, terjadi pemutusan antara Pancasila dengan sumber sejarah dan pemikirannya. Hal ini dilakukan melalui penempatan rumusan final Pancasila pada 18 Agustus 1945 sebagai satu-satunya “Pancasila yang otentik”, terpisah dari proses historis pembentukannya. Prof. Nugroho Notosusanto dalam Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981) misalnya, menegaskan bahwa Pancasila hanyalah rumusan yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Untuk keperluan ini, ia mengutip tiga macam TAP MPRS/MPR, yakni (1) TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum, (2) TAP MPR No. V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk TAP MPRS, serta (3) TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Menurut Notosusanto, ketiga TAP MPRS/MPR ini menegaskan bahwa dasar negara adalah Pancasila, dan Pancasila tersebut termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 (Notosusanto, 1981: 14).
Melalui penegasan bahwa Pancasila adalah (hanyalah) lima sila yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD, maka rumusan-rumusan sebelumnya, yakni rumusan 1 Juni 1945 dan rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, bukanlah Pancasila. Pemutusan inilah yang ditolak oleh Basarah, yang membuatnya merumuskan argumentasi yuridis untuk menyatakan bahwa Pancasila tidak terdapat dalam Pembukaan UUD, melainkan dalam dimensi abstrak sebagai norma dasar negara.
Dalam kaitan ini, Notosusanto sebenarnya alpa tidak tidak komprehensif (tidak jujur) dalam membaca TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Sebab dalam Memorandum DPR-GR tersebut, dinyatakan bahwa Pembukaan UUD yang di dalamnya termuat rumusan final Pancasila pada 18 Agustus 1945, dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, serta dijiwai oleh pidato Soekarno tentang Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945. Ini berarti, rumusan final 18 Agustus tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kesatuan saling terjiwai oleh Piagam Jakarta dan pidato 1 Juni Soekarno. Jika konstruksi DPR-GR ini digunakan, maka rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD tidak akan dipisahkan dari sejarah pembentukannya, terutama dengan pidato 1 Juni Soekarno.
Usaha untuk menyambungkan kembali antara rumusan final Pancasila dengan akar pemikirannya dalam pidato 1 Juni Soekarno inilah, yang dilakukan Basarah. Oleh karena itu, disertasi hukumnya tersebut lalu dibukukan melalui penambahan pemikiran Pancasila dan keislaman Soekarno, menjadi Bung Karno, Islam dan Pancasila (Jakarta: Konstitusi Press, 2017).
Tolok Ukur Pancasila
Lalu bagaimana Basarah merumuskan strategi penempatan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU terhadap UUD yang merupakan tugas dari Mahkamah Konstitusi (MK)? Dalam hal ini, Basarah berangkat dari tertib hukum di Indonsia yang menempatkan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Dengan demikian, pengujian UU semestinya tidak berhenti pada UUD, akan tetapi harus sampai pada sumber segala sumber hukum, yakni Pancasila.
Dalam kaitan ini, Basarah merumuskan dua langkah bagi ijtihadnya tersebut. Pertama, melalui metode interpretasi prinsipal (principle), yakni metode penafsiran terhadap prinsip yang menjadi dasar dalam pembentukan konstitusi. Ini berarti, pengujian UU terhadap UUD tidak hanya berhenti pada “dua sisi mata pedang”, yakni penafsiran terhadap UU dan UUD, melainkan juga terhadap prinsip-prinsip dasar yang membentuk UUD. Prinsip-prinsip dasar inilah Pancasila.
Dalam kaitan ini, Basarah menyatakan, “Interpretasi dari sebuah konstitusi tertulis harus sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang-orang yang merancang atau merumuskan konstitusi dan prinsip-prinsip yang hidup pada saat itu.” (Basarah, 2017: 118).
Kedua, revisi UU MK untuk menempatkan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU oleh hakim MK. Hal ini dilakukan melalui perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK.
Peraturan yang perlu disempurnakan; pertama, terdapat pada Pasal 21 UU MK yang mengatur sumpah dan janji hakim konstitusi, dimana perlu ditambahkan kewajiban bagi hakim konstitusi agar tidak hanya, “Memegang teguh UUD NRI Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluas-luasnya”, melainkan juga, “Memegang teguh Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan seluas-luasnya”.
Kedua, penambahan pengaturan dalam UU MK, yakni dengan menambahkan pasal yang mengatur: “Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU terhadap UUD NRI 1945 juga menggunakan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara sebagai dasar pengujiannya”. Tambahan pengaturan ini bisa masuk menjadi bagian hukum acara pengujian UU terhadap UUD, yakni pada pasal 49A. (Basarah, 2017: 137-138)
Karena metode pertama, yakni interpretasi prinsipal bersifat hermeunetis, maka timbul persoalan: teks Pancasila yang mana yang harus ditafsirkan? Untuk soal ini, Basarah mengajak kita untuk kembali ke original intent dari Pancasila, yakni pidato 1 Juni 1945 Soekarno. Hal ini terkait dengan konsepnya tentang Pancasila sebagai norma dasar negara (Grundnorm) yang tidak berada di Pembukaan UUD, melainkan di wilayah abstrak yang terbentuk di fase historis kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila, sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 1945. Hanya saja karena gagasan tentang filsafat dasar negara (Philosophische grondslag) terdapat pada pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, maka notulensi pidato tersebut yang menjadi teks dasar negara.
Dalam kerangka ini, Basarah merujuk pada gagasan Prof. Notonagoro pada 19 September 1951 dalam pidato promosi penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum kepada Presiden Soekarno di Universitas Gadjah Mada. Gagasan Notonagoro merujuk pada pemilahan antara dimensi formal dan dimensi material Pancasila. Dimensi formal adalah Pancasila dasar negara yang rumusannya berbeda-beda dalam UUD 1945, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Sedangkan dimensi material adalah gagasan filsafat dasar negara yang digagas Soekarno pada 1 Juni 1945. Filsafat dasar negara yang digagas Soekarno ini oleh Notonagoro disebut sebagai “asas dan pengertian yang tetap sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia”. (Notonagoro, 1974: 4).
Dalam hal ini, dimensi material yang digagas Soekarno merupakan “isi konseptual” dari dimensi formal Pancasila dasar negara. Sebab jika Pancasila hanya kita pahami sebagai lima nilai yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD, maka kelima nilai tersebut masih bersifat multi-interpretatif. Padahal lima nilai itu adalah redaksionalisasi dari gagasan filsafat dasar negara oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Tentu, filsafat dasar negara ini lalu direvisi dalam hal sistematika (urut-urutan sila-sila) oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, serta mengalami dialektisasi dalam sidang kedua BPUPK pada 10-17 Juli 1945, sehingga menjadi konsensus bersama pimpinan dan anggota PPKI pada 18 Agustus 1945.
Sebagai dasar negara, Pancasila, meminjam istilah Basarah, merupakan “mahakarya pendiri bangsa”, yang tidak hanya melibatkan peran Soekarno, tetapi juga semua para pendiri bangsa. Meskipun dalam hal gagasan, filsafat dasar negara Pancasila digagas oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Itulah mengapa dalam ijtihadnya, Dr. Ahmad Basarah menjadikan notulensi pidato 1 Juni Bung Karno, sebagai teks utama bagi interpretasi prinsipal dalam upaya menempatkan Pancasila sebagai tolok ukur pengujian UU.
*) Oleh Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila.
Artikel ini juga tayang di kompas.com, (08/08/2022)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Dr. Ahmad Basarah dan Ijtihad Pengujian Undang-Undang Berdasarkan Pancasila
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |