TIMES LOMBOK, LOMBOK TIMUR – Pilkada Serentak merupakan momen penting dalam demokrasi Indonesia, yang diharapkan menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin daerah yang adil dan amanah. Namun, muncul pertanyaan apakah Pilkada benar-benar mewakili aspirasi rakyat atau sekadar alat elite politik untuk mempertahankan kekuasaan?
Demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa pada 12 September 2024 menyoroti kekhawatiran bahwa politik Indonesia masih terjebak dalam permainan kekuasaan. Demonstran mengkritik rencana DPR untuk membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, yang dianggap sebagai bentuk penghalangan konstitusi dan tanda bahwa aspirasi rakyat masih kerap diabaikan. Mereka mempertanyakan apakah Pilkada benar-benar mewakili harapan rakyat atau sekadar ajang perebutan kekuasaan.
Sejak era reformasi 1998, Indonesia berkomitmen untuk membangun kembali demokrasi yang sehat. Namun, fakta menunjukkan masih ada celah yang dimanfaatkan oleh segelintir elite politik. Pilkada, yang seharusnya menjadi instrumen rakyat dalam memilih pemimpin, sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik dinasti dan oligarki. Kandidat yang maju sering berasal dari keluarga besar politik atau pengusaha berpengaruh, menegaskan betapa dominannya kekuasaan kelompok kecil di banyak daerah.
Fenomena penyalahgunaan dana kampanye, politik uang, hingga mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) semakin memperburuk situasi. Suara rakyat sering dibeli atau dijanjikan imbalan yang sulit direalisasikan setelah pilkada selesai. Hal ini merusak integritas pemilu dan mengurangi harapan rakyat akan adanya perubahan yang signifikan di daerah. Kritik terhadap Pilkada Serentak tidak berhenti pada masalah oligarki dan politik dinasti.
Banyak kepala daerah yang terpilih melalui pilkada lebih mengutamakan kepentingan partai atau pendukung politik mereka, ketimbang janji kampanye yang disampaikan kepada rakyat. Fenomena politik identitas juga menjadi masalah serius, di mana kandidat memanfaatkan isu suku, agama, atau kelompok tertentu untuk memperoleh dukungan, yang pada gilirannya bisa memecah belah masyarakat.
Meskipun demikian, Pilkada Serentak masih menawarkan harapan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang dapat membawa perubahan nyata. Namun, hal ini sangat tergantung pada kualitas kandidat yang maju. Sayangnya, banyak kandidat yang terpilih bukan karena kapasitas atau rekam jejak mereka, tetapi karena popularitas atau afiliasi politik mereka dengan kelompok tertentu.
Namun, di sisi lain, Pilkada Serentak juga membawa regenerasi kepemimpinan. Beberapa daerah mampu mengalami kemajuan pesat berkat pemimpin daerah yang pro-rakyat, yang fokus pada pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa Pilkada masih bisa menjadi instrumen perubahan, asalkan prosesnya berjalan dengan bersih dan adil. Harapan rakyat terhadap Pilkada Serentak cukup jelas.
Mereka menginginkan pemimpin yang peduli, memahami kebutuhan masyarakat, serta mampu membuat kebijakan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan. Selain itu, rakyat juga berharap Pilkada berlangsung tanpa kecurangan, politik uang, atau penyalahgunaan wewenang, sehingga hasilnya benar-benar mencerminkan pilihan mayoritas.
Pada akhirnya, Pilkada Serentak adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang diinginkan, namun di sisi lain, ia juga rentan disalahgunakan oleh elit politik.
Keberhasilannya sangat bergantung pada integritas penyelenggara, penegakan hukum, dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi proses pemilu. Jika semua elemen ini berjalan dengan baik, Pilkada Serentak bisa menjadi sarana nyata bagi rakyat untuk menciptakan perubahan dan perbaikan yang diharapkan.
***
*) Oleh : Ulyan Nasri, Penulis Buku, Author Artikel, Editor Buku, Ketua LPPM dan Dosen Tetap Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |