TIMES LOMBOK, LOMBOK TIMUR – Media sosial saat ini tengah dihebohkan oleh sebuah cuplikan video Gus Miftah dan pedagang es teh bernama Sonhaji. Dalam cuplikan video itu, Gus Miftah bercanda kepada si pedagang dengan kalimat yang dinilai kurang tepat. Reaksi netizen pun beragam, namun mayoritas mengarah pada kemarahan terhadap Gus Miftah. Video itu dengan cepat menyebar, menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial.
Gus Miftah selama ini dikenal sebagai sosok pendakwah yang unik, pendakwah yang berani masuk ke tempat-tempat yang sering kali dijauhi oleh pendakwah lain, seperti klub malam. Hampir semua orang tahu, Gus Miftah telah membawa pesan-pesan Islam ke tempat yang tidak terduga, memberikan harapan bagi mereka yang sering terpinggirkan. Namun, sebagai manusia biasa, Gus Miftah tentu tidak luput dari kesalahan. Dalam hal ini, candaan beliau yang dinilai berlebihan kepada Sonhaji kini menjadi pembicaraan publik di Tanah Air.
Kesalahan Gus Miftah dalam bercanda memang patut dikritik. Candaan dalam aktivitas ceramah agama tersebut, meski dilakukan tanpa disengaja untuk merendahkan, namun dinilai oleh banyak orang (termasuk penulis) sebagai tindakan yang mengabaikan etika dakwah.
Dampak Bercanda Berlebihan
Bercanda berlebihan, terutama jika melibatkan penghinaan atau menyakiti perasaan orang lain, dapat merusak hubungan sosial. Bagi orang biasa (bukan pendakwah) membiasakan diri bercanda berlebihan berisiko kehilangan rasa hormat dan kepercayaan dari lingkungannya.
Selain itu, bercanda berlebihan dapat menimbulkan kesalahpahaman, memicu konflik, dan merusak reputasi seseorang. Lebih jauh lagi, bercanda berlebihan dapat menyebabkan alienasi sosial karena orang-orang di sekitarnya merasa tidak nyaman atau tidak dihargai.
Bagi pendakwah, bercanda berlebihan, terutama saat ceramah, dapat menurunkan kewibawaan dan mencederai nilai dakwah Islam. Dalam konteks nilai keagamaan, pendakwah diharapkan menjadi teladan moral yang menjaga ucapan dan perilakunya dengan baik.
Jika candaan pendakwah dianggap tidak pantas atau mengabaikan nilai-nilai Islam, hal ini dapat menurunkan efektivitas dakwah dan kepercayaan jamaah terhadap pesan dakwah yang disampaikan. Singkatnya, bercanda berlebihan dalam konteks ceramah agama berisiko menurunkan kesakralan pesan dakwah, lalu menjadikan aktivitas dakwah itu tampak sekadar hiburan belaka tanpa menghadirkan dampak spiritual yang mendalam.
Namun demikian, penting bagi kita untuk memahami bahwa seorang pendakwah, sebagaimana manusia pada umumnya, bukanlah manusia maksum seperti Nabi Saw. Pendakwah memiliki potensi melakukan kebaikan sekaligus membuat kesalahan. Oleh sebab itu, kritik yang kita lontarkan kepadanya harus bijaksana. Mari kita membangun budaya kritik yang santun, dan tidak menggunakan media sosial untuk meluapkan emosi secara berlebihan.
Dua Prinsip Penting dalam Komunikasi Islam
Dalam konsep komunikasi Islam, terdapat prinsip-prinsip komunikasi Islam yang layak kita kaji. Harjani Hefni menyebutkan ada 12 prinsip komunikasi Islam, dan dua di antaranya adalah, pertama, prinsip pahala dan dosa. Kedua, prinsip berkata positif.
Pertama, prinsip pahala dan dosa. Seorang pendakwah yang sibuk menyebarluaskan syiar Islam di tengah masyarakat luas, penting mengingat bahwa setiap kalimat yang diucapkan kepada orang lain, terlebih saat sedang berceramah, selalu berpotensi mengandung pahala atau mengandung dosa.
Harjani Hefni menyatakan, lisan memiliki peran kunci dalam berkomunikasi, apakah akan membawa kita kepada kesuksesan atau kehancuran. Dalam konteks kegiatan ceramah agama di hadapan khalayak umum, menjaga lisan agar senantiasa mengeluarkan kalimat-kalimat yang baik (berpahala) adalah keniscayaan tanpa bisa ditawar-tawar.
Sekali pendakwah salah ucap dalam berceramah, seperti bercanda berlebihan, kesalahan itu bisa menjadi bumerang yang dapat membahayakan dirinya, persis seperti yang terjadi pada diri Gus Miftah saat ini. Niat hati hanya bercanda, namun ternyata candaan itu menggegerkan masyarakat lewat media sosial.
Tidak hanya untuk Gus Miftah atau pendakwah lainnya, orang biasa (baca: bukan pendakwah) juga harus menjaga lisan agar senantiasa mengeluarkan kalimat-kalimat yang baik (berpahala). Prinsip komunikasi ini berlaku universal bagi setiap muslim yang senantiasa melakukan aktivitas komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Termasuk ketika kita (baca: netizen) hendak mengkritik Gus Miftah dalam masalah ini, kita juga patut berhati-hati, jangan sampai kita yang awalnya berniat mengkritik Gus Miftah atas kesalahannya, justru kita bersikap berlebihan dalam mengomentari dengan ucapan yang tidak pantas.
Dalam sebuah hadits, kita diingatkan: “Dari Abdullah bin ‘Amr r.a berkata: Nabi tidak pernah mengucapkan kata-kata kotor dan tidak menyukai perkataan seperti itu, dan beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya’ (HR. Imam Bukhari).”
Kedua, prinsip berkata positif. Ketika orang biasa (bukan pendakwah) saja dituntut untuk selalu berkata-kata positif, maka pendakwah harus lebih selektif menjaga kata-kata yang keluar dari lisannya. Dalam sebuah hadits, kita diingatkan: “Dari Anas bin malik, sesungguhnya Nabi senang kalau beliau keluar untuk suatu urusan mendengarkan orang yang mengucapkan: semoga selalu berada dalam tuntunan, semoga selalu sukses. (HR. Imam At-Tirmidzi).”
Dalam hadits lain dijelaskan bahwa “Dari Yahya bin Sa’id, sesungguhnya Isa bin Maryam apabila bertemu dengan seekor babi di jalan, beliau berkata: ‘Keluarlah dengan keselamatan’. Ada yang bertanya kepada beliau, ‘Engkau berkata (positif) seperti itu untuk seekor babi?’ Isa menjawab, ‘saya khawatir untuk membiasakan lidahku mengucapkan kalimat jahat.’ (HR. Imam Malik)”.
Hindari Bercanda Berlebihan: Sebuah Refleksi
Berdasarkan hadits-hadits yang diutarakan di atas, kiranya cukup jelas bagaimana seharusnya kita berkomunikasi dengan baik. Nabi Muhammad Saw sangat suka mendengar umat beliau berucap dengan kalimat-kalimat yang mengandung pesan positif. Nabi isa as juga demikian, betapa beliau sangat menjaga lisannya agar selalu berkata positif, meskipun terhadap seekor binatang.
Hadits-hadits ini hendak mengajarkan kita bahwa siapa pun kita (orang biasa atau pendakwah) selayaknya harus senantiasa menjaga lisan agar selalu berkata-kata positif, termasuk saat bercanda dengan orang lain. Dapat dikatakan bahwa, batasan bercanda dalam perspektif komunikasi Islam ialah candaan itu menggunakan kalimat yang tidak mengandung dosa atau kalimat yang positif, bukan kalimat negatif yang dapat melukai perasaan.
Kejadian ini mengandung hikmah besar, tidak hanya bagi Gus Miftah, tetapi juga bagi kita seluruh umat Islam. Kepada para pendakwah, mari kita selalu waspada dalam berucap atau bercanda kepada orang lain, baik saat di ruang terbatas maupun saat di ruang terbuka seperti pengajian yang dihadiri jamaah luas.
Khusus kepada Gus Miftah, beliau telah mengakui kesalahannya dan bersedia mendatangi rumah bapak penjual es Teh untuk meminta maaf. Ini adalah sikap pemberani seorang pendakwah yang patut diapresiasi. Untuk bapak penjual es teh, pak Sonhaji, semoga beliau diberikan kesehatan zahir-batin dan keluasan rizki dalam berjuang menafkahi keluarga tercinta.
Kepada para netizen, kejadian Gus Miftah dan pedagang Es Teh ini harus menjadi momentum evaluasi diri. Penulis memahami bahwa kemarahan netizen adalah sebuah kritik dalam menjaga moralitas pendakwah sekaligus menjadi momentum para pendakwah untuk terus memperbaiki diri. Namun di samping itu, kejadian ini juga tidak perlu dibesar-besarkan sampai menimbulkan kemarahan dan kebencian terus-menerus.
Mari kita menilai seseorang secara adil, dengan mempertimbangkan seluruh kebaikan dan kesalahan mereka secara proporsional. Kontribusi Gus Miftah dalam dakwah dan perbaikan masyarakat tidak boleh dilupakan hanya karena satu kesalahan. Apabila beliau berbuat baik, kita layak mengapresiasinya. Apabila beliau berbuat salah, mari diingatkan dan ditegur dengan tegas.
Kritik yang disampaikan dengan bijaksana adalah bentuk cinta sesama muslim. Sebaliknya, komentar yang berlebihan hanya akan memperkeruh suasana dan menimbulkan kebencian. Mari kita ingat pesan Allah Swt dalam Al-Quran yang artinya, “Teruslah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55).
***
*) Oleh : M. Gufran, Dosen Tetap Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |