TIMES LOMBOK, MATARAM – Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) siap tampil di Korea Selatan dengan membawa isu perdamaian global selama lima hari dari tanggal 21-25 September 2025.
Jumlah tim yang berangkat sebanyak lima orang - terdiri dari Fitri Rachmawati selaku pendiri SPWS, Abdul Latief Apriaman selaku Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak, H. Safwan Dalang senior, Kepala SPWS, Wahyu Kurnia Tim Kreatif, Litbang SPWS dan Alamsyah Tim Kreatif SPWS.
"Kami berlima dari SPWS berangkat membawa isu perdamaian global yang tampil dua event," ungkap Abdul Latif, Minggu (21/9/2025).
Pertunjukan Benih Perdamian dari timur yang digelar sekehe SPWS di dua event berbeda di Korea.
Kehadiran SPWS ke Korea adalah atas undangan CICS (The Center for Intangible Culture Studies) yang memilih SPWS sebagai salah satu dari tiga lembaga di dunia untuk menerima penghargaan JIAPICH (The Jeonju International Awards for Promoting Intangible Cultural Heritage) 2025.
"Peghargaan ini adalah penghargaan kedua di usia SPWS yang sudah mencapai satu dekade, sejak berdiri tahun 2015 silam. Sebelumnya di tahun 2024 lalu penghargaan serupa diperoleh dari CRIHAP," ungkapnya jurnalis senior ini.
Bagi SPWS penghargaan itu adalah sebuah kabar baik bagi perkembangan dunia pedalangan wayang Sasak, bahwa keberadaan wayang Sasak sebagai sebuah kekayaan budaya tak benda yang hidup Lombok, bisa mendapat tempat di panggung dunia.
Penghargaan ini dipersembahkan untuk semua pendahulu, para dalang senior dan pegiat seni pedalangan wayang Sasak yang dengan cintanya menjaga kekayaan tradisi sarat nilai itu bisa lestari hingga hari ini.
Penghargaan ini juga buat generasi muda, para pegiat seni pedalangan yang hari ini masih setia menjalankan aktifitas mereka untuk menjadikan wayang Sasak bisa tetap hadir dan mengalir hingga ke masa depan.
“Ini adalah kabar baik bagi semua pihak yang selama ini ikut mengupayakan pelestarian Wayang Sasak, terutama para dalang yang setia menjaga tradisi hingga hari ini. Juga bagi generasi muda yang masih mau mencintai seni tradisinya sebagai akar budaya,” katanya.
Inilah sepenggal kisah benih perdamaian dari timur:
Raden Jayengrane gundah gulana melihat situasi global yang memanas. Perang pecah di mana-mana, orang-orang seperti kehilangan akal sehat, menuruti hawa nafsu mereka. Sang Raja bijaksana itu kemudian mengutus Raden Umar Maye, untuk mencari obat bagi perdamaian dunia, obat bagi ibu bumi yang terluka.
Berbekal Kembang Dangar, Umar Maye memulai perjalanan sucinya, mencari pasangan Kembang Dangar yang bisa menjadi obat mujarab bagi dunia yang tengah sakit.
Di sebuah bukit sakral di Korea, Umar Maye bertemu dengan Raja Dangun--tokoh utama di Korea yang dikenal bijaksana--yang telah menunggu dengan Mugunghwa, bunga nasional Korea.
Umar Maye dan Dangun kemudian menyatukan Kembang Dangar dan Mugunghwa, menjadikannya Bibit Bunga Peramaian, obat mujarab bagi kesembuhan ibu bumi.
Mereka kemudian menunjuk Wa dan Tol, dua karakter wayang Botol untuk menyebarkannya di setiap hati manusia di seluruh dunia. (*)
Pewarta | : Hery Mahardika |
Editor | : Ronny Wicaksono |