TIMES LOMBOK, JAKARTA – Hari itu, saya berdiri di garis start dengan napas tertahan. Langit masih berselimut kabut saat suara starter memecah pagi yang hening di lereng Tambi. Dieng Caldera Race 2025 baru saja dimulai. Saya, seorang wartawan yang juga pelari dari TIMES Indonesia Running Club, ikut serta dalam kategori 25K. Minggu (22/5/2025).
Perasaan saya campur aduk: gugup, bersemangat, dan juga penuh syukur. Dalam waktu 04:54:21.95, saya menuntaskan lintasan ekstrem yang membawa saya menapaki tiga puncak: Si Kendil, Sibhutak, dan Setlerep. Bukan sekadar jalur lari, rute ini adalah pelajaran tentang tubuh, jiwa, dan keteguhan hati.
Lebih dari Sekadar Perlombaan
Saya tak pernah menganggap Dieng Caldera Race sekadar kompetisi. Bagi saya, ini adalah ziarah sunyi di antara kabut dan perbukitan teh. Jalur yang menanjak dan turun, berlumpur dan berbatu, menguji ketahanan otot dan pikiran. Tapi di balik itu semua, pemandangan hijau yang membentang sejauh mata memandang, menyentuh sesuatu yang lebih dalam dari sekadar stamina.
"Ini bukan tentang mengejar waktu, tapi mengejar makna." Itu yang terus saya ucapkan dalam hati sepanjang lintasan.
Mengapa Saya Lari di Dieng Caldera Race?
Ada yang bertanya, kenapa saya ikut ajang ini? Sebagai jurnalis, saya biasa menulis kisah orang lain. Tapi di sini, saya ingin menuliskan kisah saya sendiri—kisah seorang pelari yang juga pencerita. Saya ingin merasakan langsung denyut sport tourism Indonesia. Dan Dieng Caldera Race memberi saya semua itu: tantangan, pemandangan, dan suasana kekeluargaan lintas daerah.
Ajang ini bukan main-main. Diselenggarakan oleh PAT Adventure dan Detrac, dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Wonosobo dan BPOB – Kementerian Pariwisata RI, DCR 2025 memakai sistem UTMB Index—tolak ukur resmi bagi pelari trail yang ingin mengumpulkan poin ke Ultra-Trail du Mont-Blanc di Chamonix, Prancis.
Atmosfer Tambi yang Tak Tergantikan
Tambi Tea Resort menjadi titik awal dan akhir pelarian saya hari itu. Di tempat ini, udara sejuk menyatu dengan aroma kebun teh, dan jalur berkelok menyambut setiap pelari dengan tantangan yang khas. Saya masih ingat, setiap kali tubuh mulai lelah, pandangan saya terarah ke kabut yang melayang di atas pucuk-pucuk teh. Itu jadi semacam penenang—bahwa saya sedang berlari di tempat yang benar.
Ratusan pelari dari seluruh Indonesia berkumpul di sini. Tapi tak ada kompetisi yang kaku. Yang terasa justru semangat saling dorong dan saling jaga. Seperti keluarga besar yang dipertemukan oleh satu kecintaan: lari dan alam.
Peluh yang Penuh Cerita
Saya menyelesaikan 25K itu bukan sebagai juara. Tapi saya menang atas diri sendiri. Kemenangan itu saya rasakan saat menuruni puncak Setlerep dan melihat garis finis di kejauhan. Mata saya sedikit basah, bukan karena angin gunung, tapi karena rasa puas yang tak bisa dibayar dengan apa pun.
Di tengah sorakan dan tepuk tangan, saya sadar: langkah kaki hari itu adalah cara saya bersyukur atas hidup. Di tengah kesibukan redaksi, tekanan tenggat, dan rutinitas media, saya kembali menemukan jeda dan makna lewat Dieng Caldera Race.
Ekspedisi TIMES Indonesia
Partisipasi saya dalam Dieng Caldera Race 2025 menjadi penutup sempurna untuk rangkaian Ekspedisi TIMES Indonesia: Wonosobo–Dieng. Sebuah perjalanan yang dimulai dari Bukit Skoter, berlanjut ke Candi Arjuna, menginap di Telaga Cebong, dan berpuncak di lereng Tambi.
Saya membawa pulang lebih dari sekadar medali. Saya membawa pulang cerita, rasa, dan pelajaran, yang akan saya bagi lewat tulisan ini—karena kadang, cerita terbaik bukan yang kita liput, tapi yang kita jalani sendiri.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Dieng Caldera Race 2025, Saat Langkah Kaki Menjadi Doa di Perbukitan Tambi
Pewarta | : Kurniawan Saputro |
Editor | : Imadudin Muhammad |