https://lombok.times.co.id/
Berita

Status “Cucu” Gagal Masuk SMAN 1 Tanjung, Pemerintah Pusat Diminta Evaluasi Kebijakan PPDB

Jumat, 04 Juli 2025 - 14:35
Status “Cucu” Gagal Masuk SMAN 1 Tanjung, Pemerintah Pusat Diminta Evaluasi Kebijakan PPDB Kepsek SMAN 1 Tanjung, Fatmawati menerima calon siswa yang gagal diterima didampingi praktisi hukum Eva Lestari. (Foto : Eva Untuk TIMES Indonesia)

TIMES LOMBOK, LOMBOK UTARA – Polemik penerimaan peserta didik baru (PPDB) jalur domisili di SMAN 1 Tanjung mencuat setelah seorang calon siswa asal Desa Tanjung gagal diterima, meskipun berdomisili dekat sekolah dan telah tercatat dalam Kartu Keluarga (KK) bersama kakek dan neneknya.

Pihak keluarga sempat menduga penolakan terjadi karena dalam KK, status hubungan anak tersebut adalah “cucu”, bukan anak kandung. 

Namun, pihak sekolah memberikan klarifikasi bahwa calon siswa tersebut sebenarnya telah masuk ke dalam sistem pendaftaran, tetapi tergeser ke posisi bawah karena adanya tiga pendaftar lain yang lebih dahulu melakukan verifikasi data secara lengkap.

Kepala SMAN 1 Tanjung, Fatmawati menjelaskan, anak ini sudah masuk sistem pendaftaran. Namun karena keterbatasan kuota dan sistem seleksi berdasarkan verifikasi awal, dia tidak masuk Dapodik atau tergeser oleh tiga orang yang lebih dulu melakukan verifikasi.

"Bukan kami yang menolaknya, tapi sistem, karena sistem memverifikasi secara langsung, yang dilihat pertama oleh sistem adalah status anak kandung, setelah itu cucu dan family lainnya sedangkan Sistem sudah terkunci (deadlock) tadi malam pukul 12," jelasnya, Jumat (4/7/2025).

SMAN-1-Tanjung.jpg

Pihak sekolah menyarankan agar anak tersebut mendaftar ke SMKN 1 Tanjung sebagai alternatif, karena masih tersedia kuota di sana, dan pihaknya siap membantu prosesnya. 

"Dulu juga kami didesak menambah ruang kelas yang tadinya 7 ruang kelas jadi 8 kelas, 8 kelas jadi 9 kelas, tidak mungkin kami menambah ruang kelas lagi hanya untuk mewujudkan kemauan warga," terangnya.

"Kami saja pakai ruang lab karena ruangan di depan rusak parah dan tidak mungkin hanya diperbaiki saja, kami kemarin dapat DAK 2022 untuk perbaikan tapi kami tolak karena bangunan didepan butuh pembangunan ulang bukan perbaikan atau renovasi," ungkapnya.

Meski demikian, keluarga calon siswa menyatakan kekecewaannya. Mereka menilai tidak ada kejelasan informasi sejak awal, dan sistem tidak memberikan ruang yang adil bagi keluarga yang mengalami kendala administratif atau tidak paham prosedur digital.

Kordiv Perempuan dan Perlindungan Anak, De-PARI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia), Eva Lestari, SH menanggapi kasus ini dengan kritis. Ia menilai bahwa sistem seleksi daring seperti SPMB NTB masih menyisakan celah diskriminatif, terutama terhadap anak-anak dalam kondisi keluarga yang tidak ideal.

“Meskipun secara teknis tidak ditolak, faktanya anak ini tergeser karena mekanisme sistem yang tidak mempertimbangkan latar belakang sosial. Status sebagai cucu di KK seharusnya tidak menjadi penghalang jika anak tersebut telah lama berdomisili di wilayah sekolah,” kata praktisi hukum yang mendampingi kasus ini. 

Ia juga menekankan pentingnya kebijakan afirmatif bagi anak-anak yatim atau piatu yang diasuh oleh keluarga besar.

Harus ada regulasi tambahan yang memberikan afirmasi kepada anak-anak dalam pengasuhan keluarga. Apalagi jika mereka tidak memiliki orang tua lagi. 

"Sistem yang kaku berisiko mencederai hak atas pendidikan yang dijamin konstitusi. Negara dan institusi pendidikan wajib memberi ruang solusi,” tambahnya.

Lebih jauh, Eva menyoroti bahwa sistem digital dan zonasi yang semula dimaksudkan untuk memperluas akses pendidikan justru kerap menimbulkan kerumitan baru di lapangan.

Dengan sistem online dan zonasi seperti saat ini, yang seharusnya memudahkan justru malah menambah beban masyarakat. Banyak orang tua dari kalangan tidak mampu yang tidak paham cara kerja sistem digital, atau mengalami kendala teknis. 

"Akibatnya, mereka kalah bersaing bukan karena tidak memenuhi syarat, tapi karena sistem tidak memberi ruang manusiawi untuk kondisi sosial mereka,” tegasnya mahasiswi Pascasarjana Hukum Unram ini. 

Eva juga memperingatkan bahwa sistem yang tertutup dan tidak fleksibel membuka peluang praktik-praktik kotor.

Ketika jalur resmi sulit diakses, maka bisa memunculkan potensi penyimpangan : manipulasi KK, surat domisili dadakan, bahkan potensi suap menyuap agar anak diterima di sekolah favorit.

Ini berbahaya dan bertentangan dengan semangat pendidikan yang bersih dan adil.

"Bahkan banyaknya para wali murid dan keluarga calon siswa meminta tolong kepada saya agar anaknya bisa diterima disekolah favorit dan banyak keluhan bahwa mereka harus membayar jutaan bahkan puluhan juta," ungkapnya.

Lebih lanjut, ia mendesak agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia turun tangan mengevaluasi sistem PPDB digital di seluruh daerah.

Pemerintah pusat tidak bisa tinggal diam. Apa yang terjadi di Lombok Utara adalah potret kecil dari kekacauan yang lebih luas di berbagai daerah.

"Kami meminta Kemendikbudristek merevisi sistem zonasi dan PPDB daring agar lebih adil, fleksibel, dan berpihak pada rakyat kecil,” imbuhnya. 

Eva juga mengusulkan reformasi konkret agar sistem PPDB tidak semata bertumpu pada inisiatif warga melalui pendaftaran online. Ia menawarkan pendekatan berbasis lingkungan. 

“RT/RW dan kelurahan semestinya diberi tanggung jawab mendata anak usia sekolah secara proaktif. Dari data itu, sekolah bisa mengundang langsung calon siswa, dan orang tua tinggal melengkapi berkas. Ini akan menghindari perlombaan digital yang justru menyulitkan masyarakat kecil," jelasnya. 

Sistem zonasi juga diusulkan mengacu pada wilayah administratif yang lebih jelas (RT/RW, lingkungan) daripada radius digital berbasis titik koordinat, yang rawan manipulasi dan sulit diverifikasi di lapangan. 

Jalur afirmasi sosial harus dibuka secara nasional bagi anak-anak dalam pengasuhan keluarga besar, anak yatim/piatu, dan keluarga rentan lainnya.

Selain itu, distribusi siswa harus diperbaiki dengan kebijakan rotasi guru berprestasi dan dukungan program unggulan di sekolah-sekolah non-favorit agar semua sekolah menjadi tujuan yang layak dan merata.

Kasus ini menjadi refleksi bahwa pendekatan sistemik dalam dunia pendidikan harus dibarengi dengan empati dan keadilan sosial. 

"Pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi mengevaluasi total sistem penerimaan siswa agar tidak lagi menyisakan luka dan ketimpangan baru di tengah semangat pemerataan pendidikan," tutupnya.(*)

Pewarta : Hery Mahardika
Editor : Hendarmono Al Sidarto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Lombok just now

Welcome to TIMES Lombok

TIMES Lombok is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.